PT. DUTA BUANA MANDIRI
Your Preferred Energy Partner
> News > Detail

Harga batu bara turun, pendapatan defisit

Monday, 22 October 2012 at 20:44 WIB




Pemerintah harus mencari cara menutup defisit pendapatan

Kementerian ESDM kemungkinan harus mengoreksi target pendapatan dari industri batu bara akibat lesunya harga komoditas ini sejak akhir tahun lalu. Batu bara yang semula menjadi primadona sempat menyentuh harga hingga US$130 per ton tahun lalu namun kemudian merosot tajam hingga sekitar US$84 awal September ini.

Kondisi ini menurut Wakil Menteri ESDM Rudy Rubiandini mau tak mau akan memaksa kementeriannya menghitung ulang pendapatan dari sektor batu bara, sektor penyumbang pendapatan negara terpenting dari kategori tambang, setelah minyak dan gas.

"Produksi turun, harga turun akan mempengaruhi pendapatan negara, tapi kita mafhum," Rudy menjelaskan. Rata-rata perolehan negara per tahun dari industri ini menurut Rudy mencapai Rp60 triliun, dengan asumsi harga antara US$90-120 per ton.

Batu bara adalah jenis mineral yang paling banyak menopang pendapatan nasional, dan merosotnya harga batu bara akan memaksa kementrian memutar otak mencari celah menutup defisit pendapatan dari komoditas lain."Nanti kita cek apakah di industri gas apakah ada penambahan, misalnya kemarin ada revisi harga gas, ternyata bisa," tambah Rudy.

Rudy menegaskan pemerintah tidak khawatir soal terus merosotnya harga batu bara, meski mengakui tren penurunan harga juga merembet pada sejumlah komoditas mineral lain. "Meluas pada mineral lain bukan hanya batu bara, nikel dan sebagainya itu akan terganggu juga".

Hanya sementara

Harga batu bara menguat tajam beberapa tahun terakhir sejak komoditas ini menjadi primadona energi terutama bagi dua negara terbesar di Asia, Cina dan India. Dua negara ini juga menjadi tujuan utama ekspor batu bara asal Indonesia, selain Jepang serta beberapa negara Eropa.

Kelesuan ekonomi di Eropa dan AS membuat permintaan terhadap industri manufaktur di Cina dan India melemah dan akibatnya pembelian batu bara dikurangi. Namun produsen seperti Bumi Resources, produsen batu bara terbesar di Indonesia, menyatakan tidak khawatir.

"Pelemahan pasar ini hanya bersifat sementara, di musim dingin harga batu bara akan (kembali) menguat," kata Dileep Srivastava dari Bumi Resources. Srivastava menegaskan meski turun jauh, harga batu bara sudah mengalami penaikan pesat dalam beberapa tahun terakhir, dan seluruhnya menunjukkan naik-turun harga adalah siklus yang biasa terjadi.

"Kalau kita lihat harga batu bara tahun 2007 hanya US$44, 2008 jadi US$73, 2009 jadi US$63, 2010 jadi US$71, kemudian berikutnya 2011 US$92, dan tahun ini 2012 kami perkirakan antara US$84-85."

Keyakinan yang sama diungkapkan pemerintah, yang memperkirakan harga akan kembali ke titik keseimbangan sekitar US$90. "Untuk pelemahan ini akan terganggu sampai akhir tahun," kata Wakil Menteri ESDM Rudy Rubiandini.

Seleksi alam

Namun menurut Direktur Asosiasi Pengusaha Batu bara Indonesia (APBI), Bob Kamandanu, situasi seperti ini belum pernah terjadi. "Memang tidak seburuk guncangan tahun 2008-2009 (harga) drop dari US$130 ke US$50-60 tapi dalam dua bulan secara gradual naik lagi ke US$120", kata Bob.

Yang merisaukan menurutnya kondisi melemahnya harga batu bara sudah berlangsung cukup lama dan diperkirakan akan bertahan hingga tahun depan. "Akan membaik sih tahun depan, sebelum ketemu titik keseimbangan permintaan dan penawaran baru," kata Direktur APBI ini.

Bob menyebut membludaknya pemain baru industri tambang batu bara sebagai penyebab utama merosotnya harga, yang dicatat APBI melonjak pesat dari puluhan hingga sekitar 400 perusahaan dalam tempo beberapa tahun terakhir. Harga komoditas energi yang terus melonjak dan permintaan dunia yang tak henti-hentinya membuat industri ini diminati semua kalangan bahkan bagi mereka yang tak ada pengalaman di dalamnya.

"Kondisi ini bagus juga sih, terjadi seleksi alam, mana yang benar-benar sesuai dan mana yang hanya ikut-ikutan," simpulnya. Akibat pukulan berat sejak akhir tahun lalu, APBI memperkirakan kini populasi industri ini tinggal separuhnya.

Sumber : detik finance