Laba Emiten Tambang Anjlok 30% di 2012
Saturday, 30 March 2013 at 17:24 WIB
Laba emiten tambang sepanjang tahun 2012 anjlok 30%. Salah satu penyebabnya adalah merosotnya harga jual batubara di tahun ini yang hanya sekitar US$ 90 juta per ton dibanding tahun sebelumnya yang masih bertengger di harga US$ 100 juta per ton.
Berdasarkan data yang dikumpulkan Laporan Keuangan Emiten tambang yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), laba emiten tambang secara keseluruhan di sepanjang tahun 2012 mengalami penurunan yang cukup signifikan hingga mencapai 30,1%.
Tercatat, perolehan laba bersih emiten tambang sepanjang tahun 2012 hanya mencapai Rp 17,124 triliun jauh lebih rendah dari tahun 2011 yang mencapai sekitar Rp 24,508 triliun.
Jumlah angka tersebut diperoleh dari akumulasi sekitar 13 dari 28 perusahaan tambang yang menyampaikan laporan keuangan tahun buku 2012 atau yang berakhir pada 31 Desember 2012 kepada BEI.
Kepala Riset Universal Broker Indonesia (UBI) Satrio Utomo mengungkapkan, turunnya laba emiten tambang disebabkan oleh menurunnya harga batubara internasional seperti di Newcastle saat ini yang hanya sekitar US$ 90 juta per ton, sementara harga batubara di lokal mencapai US$ 50-60 juta per ton.
Angka ini jauh lebih rendah dari harga batubara di tahun sebelumnya yang mencapai d atas US$ 100 per ton. Selain melemahnya harga batubara, biaya produksi juga meningkat yang menyebabkan pendapatan menurun.
“Saat ini harga komoditas seperti batu bara masih rendah. Padahal di 2011 harga batu bara masih di atas US$ 100 di Newcastle, tapi di 2012 harga komoditas menurun, hal ini membuat harga komoditas yang lain juga ikut turun karena perekonomian China melemah, bahkan harga minyak seperti bahan bakar juga melemah,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (30/3/2013).
Dari penurunan laba itu, Satrio memprediksi jika saham-saham tambang saat ini tidak bagus untuk dijadikan koleksi sebagai bahan investasi.
‘Untuk jangka menengah hingga jangka panjang trennya menurun sehingga berat untuk dijadikan investasi. Kita belum bisa berharap banyak untuk jangka panjang,” kata Satrio.
Tetapi, menurut Satrio, sejauh ini emiten tambang belum perlu melakukan diversifikasi usaha sejauh harga jual batubara masih di atas cost produksi dan masih bisa mendapatkan untung. Kecuali untuk emiten-emiten yang masih memiliki banyak utang seperti BUMI dan kawan-kawannya, mereka harus mencari pendapatan tambahan untuk bisa menutupi utang-utangnya.
“Kecuali kalau tiba-tiba harga batubara di bawah US$ 80, itu baru perlu diversifikasi. Saat ini masih di atas angka produksi, masih bisa untung,” katanya.
Namun, untuk jangka pendek, saham-saham di sektor tambang masih memiliki potensi support. “Untuk jangka pendek ada potensi kenaikan support terutama ITMG tapi secara teknikal berapa besar rebound, belum bisa diprediksi. Posisi trading masih aman, namun untuk investasi berat,” paparnya.
Berikut perolehan laba bersih 13 dari 28 emiten tambang yang sudah menyerahkan laporan keuangan periode 31 Desember 2012 :
1. PT Adaro Energy Tbk (ADRO)
2012: US$ 383,307 juta (turun 30%)
2011: US$ 552,103 juta
2. PT Aneka Tambang (ANTM)
2012: Rp 2,9 triliun (naik 52%)
2011: Rp 1,9 triliun
3. PT Central Omega Resources Tbk (DKFT)
2012: Rp 303 miliar (naik 71%)
2011: Rp 177 miliar
4. PT Elnusa Tbk (ELSA)
2012: Rp 135 miliar
2011: rugi Rp 30 miliar
5. PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG)
2012: US$ 432 juta (turun 20%)
2011: US$ 546 juta
6. PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC)
2012: US$ 6 juta (turun 93%)
2011: US$ 94 juta
7. PT Mitra Investindo Tbk (MITI)
2012: Rp 22 miliar (turun 18%)
2011: Rp 27 miliar
8. PT Bukit Asam Tbk (PTBA)
2012: Rp 2,9 triliun (turun 3,3%)
2011: Rp 3 triliun
9. PT Petrosea Tbk (PTRO)
2012: US$ 49 juta (turun 5,7%)
2011: US$ 52 juta
10. PT Timah Tbk (TINS)
2012: RP 435 miliar (turun 51%)
2011: Rp 897 miliar
11. PT Bayan Resources Tbk (BYAN)
2012: US$ 54,94 juta atau sekitar RP 513 miliar (turun 74,23%0
2011: US$ 213,26 juta atau sekitar Rp 2,02 triliun
12. PT Harum Energy Tbk (HRUM)
2012: US$ 126,29 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun (turun 20%)
2011: US$ 158,39 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun
13. PT Vale Indonesia Tbk (VALE)
2012: US$ 52,76 juta atau sekitar Rp 494 miliar (turun 81,2%)
2011: US$ 333,76 juta atau sekitar Rp 3,2 triliun